Kesatuan Adat Kesepuhan Banten Kidul
Kasepuhan Banten Kidul adalah kelompok masyarakat adat Sunda yang tinggal di
sekitar Gunung Halimun, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat
hingga ke Kabupaten Lebak, dan ke utara hingga ke Kabupaten Bogor. Kasepuhan
(Sd. sepuh, tua) menunjuk pada adat istiadat lama yang masih
dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul
melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang masih
mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di antaranya
adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan
Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar
sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan
Kasepuhan Sirnaresmi.
Pemimpin adat di masing-masing
Kasepuhan itu digelari Abah, yang dalam aktivitas pemerintahan adat sehari-hari
dibantu oleh para pejabat adat yang disebut baris kolot (Sd. kolot,
orang tua; kokolot, tetua). Kasepuhan Ciptagelar kini dipimpin oleh Abah
Ugi, yang mewarisinya dari ayahnya, Abah Anom, yang meninggal dunia pada tahun
2007. Wilayah pengaruh kasepuhan ini di antaranya meliputi desa-desa Sirnaresmi
dan Sirnarasa di Sukabumi. Sementara Kasepuhan Cisungsang berlokasi di Desa
Cisungsang wilayah Lebak dipimpin oleh Abah Usep.
Salah satu ritual adat tahunan
Kasepuhan yang selalu menarik minat masyarakat adalah upacara Seren Taun; yang sesungguhnya adalah
pernyataan syukur warga Kasepuhan atas keberhasilan panen padi.
Sejarah Kasepuhan Kesatuan Adat
Banten Kidul
Sejarah adanya Masyarakat Adat
berdiri pada Tahun 611 M bertempat di Sajira Banten. Dengan lama
kepemimpinannya adalah 500 Tahun, Pemimpin yang pertaman bernama ABAH
AGUNG. Pada Tahun 1.100 M, pindah ke Limbang Kuning. Di Limbang Kuning
sampai Tahun 1.400 M disitu tidak ada keturunan . Diakhir Tahun 1.400 m barulah
ada keturunan Pertama bernama AKI BUYUT BAO ROSA, dan istrinya bernama AMBU
SAMPIH. Selama 150 Tahun dia bertempat di Cipatat Bogor. Dari Cipatat
berpindah lagi ke Maja. Setelah beliau wapat, Kasepuhan diteruskan oleh anaknya
yang bernama AKI BUYUT WARNING dan istrinya bernama NINI BUYUT SAMSIAH. Beliau
menjadi Kasepuhan selama 202 Tahun di Maja lalu pindah ke Lebak Larang.
Tiga Tahun diLebak Larang, beliau
meninggal. Kasepuhan diteruskan oleh AKI BUYUT KAYON Tempat pun berpindah ke Lebak
Binong selama 27 tahun. Diakhir hayat AKI BUYUT KAYON, generasi
penerusnya saat itu belum dewasa yang bernama AKI BUYUT CEBOL, sehingga
kepemimpinan Kasepuhan diwarnen* oleh AKI BUYUT SANTAYAN di Pasir
Talaga. Selama 23 Tahun AKI BUYUT SANTAYAN memimpin. *Warnen adalah
orang yang diserahi menjadi Pemangku adat karena penerusnya belum dewasa.
Dimasa AKI BUYUT CEBOL dewasa
barulah beliau menjadi pemimpin Kasepuhan. Beliau bertempat di Tegal Lumbu
selama 32 Tahun, dan diteruskan oleh UYUT JASIUN lalu pindah ke Cijangkorang.
Disitu tidak lama hanya 7 Tahun beliau pindah ke Bojong selama 17 Tahun.
Setelah UYUT JASIUN wafat,
pemimpin kasepuhan digantikan oleh penerusnya yaitu UYUT RUSDI. Pada Tahun 1940
UYUT RUSDI pindah ke Cicemet. Di Cicemet, UYUT RUSDI membuka hutan
menjadi pemukiman. 16 Tahun kemudian, beliau berpindah lagi ke Sirnaresmi tahun
1956, dan pada tahun 1960 beliau wafat. Kasepuhan diganti Oleh ABAH
ARJO. Selang waktu 15 tahun ABAH ARJO pun pindah ke Ciganas dan hanya
7 Tahun di Ciganas kemudian beliau wapat pada tahun 1982. Kasepuhan waktu itu
digantikan oleh ABAH ENCUP SUCIPTA ( ABAH ANOM ). Tahun 1983 Beliau pindah ke
Ciptarasa selama 17 Tahun.
Pada tahun 1985 Kesepuhan terpecah
menjadi dua, yaitu :
1. Kasepuhan Ciptarasa ( Abah Anom )
2. Kasepuhan Sirna Resmi ( Abah Ujat
Sujati )
Tahun 2000 ABAH ANOM pindah ke
Ciptagelar. Pada Tahun 2002 ABAH UJAT SUJADI meninggal dunia dan pada waktu itu
pula Kasepuhan Sirna Resmi menjadi dua kasepuhan, yaitu :
1. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep
Nugraha )
2. Kasepuhan Ciptamulya ( Abah Uum
Sukmawijaya)
Pada Tahun 2007 ABAH ANOM meninggal
dunia dan Kasepuhan Ciptagelar dilanjutkan oleh anaknya yaitu ABAH UGI SUGRIANA
RAKASIWI.
Sejak tahun 2002 Kasepuhan menjadi
tiga, yaitu :
1. Kasepuhan Ciptarasa ( Abah Anom )
* Kasepuhan Ciptarasa
lanjut ke Kasepuhan Ciptagelar ( Abah Ugi )
2. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep nugraha )
3. Kasepuhan Ciptamulya ( Abah Uum
sukmawijaya )
Kasepuhan Sinaresmi, Ciptagelar dan
Ciptamulya adalah perkampungan adat yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan
Cisolok ,Kabupaten Sukabumi. Orang-orang dari kota atau dari luar tidak pernah
ada yang menyebut Kaolotan atau bisa jadi mereka juga tidak tahu apa itu Kaolotan.
Perkampungan Komunitas masyarakat adat ini merupakan salah satu masyarakat adat
yang melakukan kehidupan sehari-harinya berdasarkan aturan adat. Kebiasaan
kehidupan mereka sehari-hari, selalu bercermin kepada hukum adat atau aturan
adat. Karena setiap kehidupan mereka sehari-hari telah diatur dalam hukum adat
atau aturan adat. Tetapi apabila mereka tidak mentaati atau melanggar aturan
adat, maka mereka akan kualat (Kabendon).
Ada satu hal yang tidak boleh
ditinggalkan oleh masyarakat adat Kasepuhan yaitu bertani. Bertani merupakan
mata pencaharian mereka sehari-hari, mulai dari bertani disawah, ladang dan
kebun. Untuk Pertanian yang menjadi prioritas mereka yaitu untuk pesawahan.
Alam adalah salah satu kebutuhan
warga Adat. Warga adat Kasepuhan tidak bisa hidup tanpa adanya alam. Alam
sangat berguna bagi warga adat Kasepuhan, contohnya hutan. Hutan, selain
menghasilkan air, juga sebagai sumber obat-obatan tradisional dan sebagai mata
pencaharian bagi warga masyarakat adat kasepuhan. Air juga digunakan untuk
mengairi pesawahan yang ada di sekitar warga adat Kasepuhan. Mata pencaharian
utama warga adat kasepuhan yaitu bertani terutama untuk pesawahan dan berladang
merupakan pekerjaan sampingan. Warga adat Kasepuhan pekerjaan
utamanya bertani di pesawahan dan itu memerlukan air. Oleh karena itu
masyarakat adat sangat menjaga kelestarian hutan yang merupakan sumber
penghidupan bagi mereka. Dalam kelembagaan adat, telah diatur tugas-tugas
yang harus dilaksanakan oleh warga adat kasepuhan. Ngajaga leuweng adalah
merupakan salah satu bentuk kepedulian warga adat Kasepuhan dalam menjaga dan
melestarikan hutan.
Hutan merupakan kebutuhan yang
paling utama bagi masyarakat adat Kasepuhan. Hutan fungsinya sangat banyak
sekali meramahkan lingkungan, memberikan air dan mencerminkan
keindahan satu daerah dimana Kasepuhan berada di daerah perbukitan yang suhu
udaranya dingin sesuai dengan kodrat alam yang diberikan kepada daerah
Kasepuhan. Kebersamaan warga Kasepuhan (incu putu) dalam melestarikan alam
pada perinsipnya sama dengan pemerintah melalui Taman Nasional Gunung Halimun
Salak TNGHS karena Kasepuhan berada dikaki gunung TNGHS, Dimana
Alam/hutan dengan manusia saling membutuhkan. Oleh karena itu, ekosistim
melestarikan Alam/hutan dilingkungan warga Adat adalah tetap menjadi kebiasaan.
Menjaga flora dan fauna, mengutuhkan
sumber mata air menanam pohon di tempat hutan yang gundul dengan tanaman
hortikultura (budidaya buah, sayuran, bunga, obat-obatan dan
lain-lain). Penjaga leuweung (hutan) dipimpin oleh satu orang pimpinan,
dan dibantu oleh masyarakat adat yang lain. Bertugas memastikan hutan agar
tetap hijau dan juga memastikan apakah ada penebang liar yang masuk atau tidak.
Warga adat Kasepuhan sangat peduli dalam menjaga hutan. Itu terbukti dengan
adanya pembagian ruang kelola hutan, meraka membagi hutan kedalam tiga
bagian yaitu : Hutan Tutupan, Hutan Titipan dan Hutan Garapan.
Hutan Titipan yaitu hutan yang tidak boleh dimasuki atau hutan larangan .
Hutan ini tidak boleh disentuh atau tidak boleh dimasuki oleh warga masyarakat
adat Kasepuhan. Apabila hutan tersebut dimasuki oleh masyarakat maka sesuatu
akan terjadi kepada sipelanggar itu baik berupa penyakit atau yang lainnya. Ada
juga yang melanggar yaitu memasuki hutan larangan dan mereka tidak bisa pulang kerumah
lagi karena tidak menemukan jalan pulang dari hutan titipan tersebut. Hutan ini
fungsinya sangat besar bagi masyarakat adat Kasepuhan yaitu menyimpan air.
Sawah-sawah yang ada disekitar Masyarakat kaolotan diairi dari Hutan Titipan
ini. Selain untuk pesawahan, air ini juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
masyarakat Kasepuhan. Mulai dari kebutuhan untuk minum, untuk mandi dan
lain-lain.
Hutan Tutupan yaitu hutan yang boleh di garap tapi harus ada izin dari
pemangku adat dulu. Hutan ini hanya dimanfaatkan untuk keperluan
membangun rumah. Hutan ini biasanya lokasinya tidak terlalu jauh dari pemukiman
masyarakat. Hutan ini tidak boleh dibuka apabila di hutan garapan masih
tersedia bahan-bahan untuk keperluan/membuat rumah.
Hutan Garapan yaitu hutan yang menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari
yaitu berupa pesawahan, ladang dan kebun. Hutan Garapan ini siapa saja boleh
menggarapnya asalkan ada kemauan. Baik itu Masyarakat adat atau bukan, mereka
tetap dibolehkan menggarap lahan tersebut. Namun, ada satu hal yang tidak boleh
yaitu mereka tidak boleh memiliki tanah tersebut secara individu dan mereka
hanya diperbolehkan menggarapnya. Tidak ada batasan tertentu seberapa luas
mereka harus menggarap. Dalam hal menggarap hutan garapan itu sesuai kemampuan
kita. Sementara untuk pesawahan biasa nya sawah tersebut sudah merupan tanah
milik atau surat pemberian hak menggrap. Sawah-sawah tersebut sifatnya sudah
tanah milik dan orang lain tidak boleh menggarapnya. Ada juga aturan yang
membolehkan orang lain menggarapnya yaitu sistem bagi hasil.
Meskipun warga Kasepuhan tinggal di
Kawasan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak), ekosistem hutan masih
terjaga dengan baik, kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna.
Sumber : berbagai sumber dan media, salah
satunya dari Dani Daniar.
Masyarakat Adat Desa Ciptagelar
Kampung Adat Ciptagelar (Foto Oleh:
onedimify 'panoramio.com')
Sejarah dan letak geografis Desa
Ciptagelar
a. Letak geografis
Jawa Barat terkenal dengan alam
pegunungannya yang indah dan sejuk. Selain itu Jawa Barat juga terkenal dengan
banyaknya desa adat yang salah satunya dalah desa adat Ciptagelar (Kampung
Ciptagelar, Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi) yang terletak di
lereng bukit selatan Gunung Halimun dan Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung
Ciptagelar yang luasnya hanya sekitar empat hektar dengan yang jaraknya
sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok, atau sekitar 200 km
dari Jakarta, persis di berbatasan dengan tapal batas kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung itu para pendatang harus melalui
jalan tanah berbatu kasar sepanjang sekitar 14 kilometer, dengan jalan menurun
dan menanjak yang sangat tajam dari lereng satu ke lereng yang lain di Gunung
Halimun.
b. Sejarah Desa Ciptagelar
Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan
mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai
dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri
sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai
keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer
yang bearti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal
dari kata ngawin, yang artinya “membawa tombak saat upacara perkawinan”.
Tetapi, kata “pangawinan” dalam konteks ini, mungkin bersangkut paut
dengan “bareusan pangawinan“, barisan tombak, pasukan khusus Kerajaan
Sunda yang bersenjata tombak. (Kusnaka Adimihardja, 1992).
Bukti sejarah
Sejauh ini bukti sejarah, menurut
Djuanda, memang masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa
Cipagelar tersebut memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu
Siliwangi. Tapi, jika melihat fakta situs yang diduga kuat peninggalan Kerajaan
Pajajaran yang berada di sekitar desa tersebut tepatnya di kampung Pangguyangan
rasanya itu bisa dipercaya. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon
hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, katanya,
dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat
situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede,
cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar
Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan
dan pengikuti Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan
pengikutnya dikejar-kejar Kerajaan Mataram dari Banten mencoba melarikan diri
ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi.
Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra
Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta
pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing untuk
menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram.
Dari sekian banyak pengikut dan
keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya,
cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug ( Bogor ) dan sebagian lagi lari ke
Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi). Sedangkan, Prabu Siliwangi
sendiri lari ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Berdirinya desa Cipta Gelar tidak
terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk
tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk desa Cipata Gelar merupakan penduduk
pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini di dahului oleh sebuah mimpi atau
wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang meyuruh pindah, maka tepatnya bulan
Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang)
menjalankan wangsit tersebut. Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya
ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris
kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah
ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian
diganti menjadi Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli
Bapak Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama
Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar
sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung
Ciptagelar lebih disebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit.
Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses
ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena
itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan
dan kepatuhan kepada leluhurnya.
Kebudayaan desa Ciptagelar
Seperti yang telah dijelaskan diatas
bahwa kebudayan merupakan hasil dari manusia. Sedangkan menurut Konjaraningrat
kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayan
menurut J.J Honigmann dibedakan atas gejala-gejalanya yang terdiri dari
- Wujud kebudayan yang terdiri dari ide, gagasan, norma-norma dan sebagainya.
- Kebudayan sebagai aktivitas tindakan manusia yang terpola
- Wujud kebudayaan yang merupakan hasil dari karyanya.
Secara umum kebudayaan memiliki
kesamaan di dunia ini, maka untuk itu Konjaraningrat membagi kebudayaan kedalam
tujuh unsur. Yaitu bahasa, sistem pengetahuan, Organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan
kesenian. Dari ketujuah unsur kebudayan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat
ini kami mencoba melihat kebudayaan yang muncul dalam sebuah masyarakat desa
Cipta Gelar.
Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi
manusia baik secara lisan maupun tulisan, untuk berkomunikasi satu sama lain.
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi satu sama-lain, ini
merupakan salah satu bukti perbedaan manusia dengan makluk lainya dan manusia
dianggap merupakan makhluk yang diciptakan tuhan dengan sempurna. Bahasa yang
digunakan di dunia ini sangat bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri
bahasa sangat banyak sekali yang merupakan hasil dari daya kreasi manusia yang menggunakannya.
Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya mengunakan bahasa sunda
tidak terkecuali di Desa Ciptagelar sebagai salah satu desa yang terdapat
di tatar Pasundan mereka dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan
bahasa Sunda sebagai bahasa resminya sebagai alat komunikasi.
Dalam Masyarakat Perkampungan
Ciptagelar Kabupaten Sukabumi, Sebagian besar menggunakan Bahasa Sunda dalam
kehidupan sehari–hari, Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan
digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi dalam kehidupan
mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang
merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Dapat
dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat
Sunda jauh sebelum masa itu.
Sistem Pendidikan dan Pengetahuan
Masuknya peralatan modern ke desa
Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyak mereka terutama dalam
bidang pengetahuan bertaninya, mereka dalam menanam padi tetep memegang amanah
tradisi leluhur tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap
tahun, dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang
menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan
leuit-leuit (tempat penyimpanan padi)yang tidak pernah dihampiri hama.
Bagi orang Sunda yang hidup di
pedesaan leuit memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya
sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai
gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik,
simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan
sehari-hari.
Di zaman modern sekarang leuit
nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba
instan. Dikatakan “nyaris punah”, karena memang masih ada sebagian warga yang
tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang
menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga
kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh
dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital
sebagai bumper ketahanan pangan warga.
Saking pentingnya, ketika seorang
bayi lahir, maka yang pertama dijadikan “hadiah” adalah membangun leuit.
Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit.
“Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi
warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir
adalah leuit”.
Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya.
Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan
warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih
luas lagi, 8 x 10 meter. “Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya
tampung. Satu leuit bisa menampung 500 – 1.000 ikat pare gede
(jenis padi yang biasa ditanam warga setempat),” katanya. Jika dikonversikan,
satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun
warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi.
Bagi penduduk setempat, tidak ada
jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk jenis ini, biasanya
panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti
yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare
sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya
dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan
hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun.
Dalam pandangan saya sistem
ketahanan pangan leuit yang masih dianut oleh warga adat Gunung Halimun,
sangat bagus. Model tersebut bisa dijadikan contoh masyarakat modern, sehingga
saat terjadi kekosongan suplai beras di pasar, masyarakat tidak kelabakan.
“Saya kira, negara juga patut bercermin kepada kaum adat tadi, bagaimana
mengatur tata niaga beras jangan sampai terus mengandalkan impor beras saja,”.
Dalam hal ini masyarakat Ciptagelar pengetahuan tentang bagaimana cara
memenuhui kebutuhan hidupnya sangat patut untuk kita contoh mereka tidak
tergantung kepada orang lain atau pemerintah sendiri tetapi mereka hidup
mandiri.
Pemerintahan
Abah anom sebagai kepala adat disana
memliki peranan dan pengaruh sangat penting dalam masyarakatnya. Di Desa
Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial yang modern seperti di daerah
perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka secara sukarela membatu.
Gaya kepemimpinan Abah Anom sebagai
seorang ketua adat dapat tergambarkan sebagai berikut, gaya kepemimpinan Abah
Anom yang santun dan contoh laku hidup yang diterapkannya membuat ia menjadi
panutan warga dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi alam dan manusia adalah
satu dari sekian banyak kearifan hidup yang dijalaninya. Bijak dalam
memperlakukan alam, tak terjebak nafsu untuk menguras apa yang ada di depan
mata, ia membawa warganya pada hidup yang relatif tak pernah kekurangan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban
Abah Anom sebagai pemimpin masyarakat, di wujudkan dengan adanya pelaporan
pertanggungjawaban setiap selesai upacara “Seren Taun”. Sesudah prosesi upacara
tersebut, Abah Anom memberikan laporan pertanggungjawaban dalam bahasa Sunda
kepada para sesepuh adat, disaksikan beberapa pejabat daerah serta ribuan
warga.
Sistem organisasi kemasyarakatan di
kampung ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini didasari karena warga
menyakini bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal
memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga berbagai
daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang.
Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi merupakan
mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Jika ada
persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan
ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal, masalah
tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Marjuhi sebagai sesepuh induk akan
berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang
akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang
teguh aturan adat, menurut Marjuhi. Di tingkat pusat maupun daerah juga
ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat.
Perangkat lain yang menopang
berjalannya roda pemerintahan desa adat Ciptagelar yang berjalan sesuai dengan
fungsinya masing-masing adalah adanya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun
sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama),
juru do’a, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan
fungsi keamanan atau ronda. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal
atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur
jika bepergian dinas. Dan juga terdapat apa yang disebut pujangga keraton,
yaitu Ki Radi namanya berusia sekitar 50 tahun, ia bertugas membunyikan kecapi
buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para
pengunjung sudah banyak yang pulang, isi pantunnya tersebut menuturkan
asal-usul perjalanan hidup.
Abah Anom juga memiliki perangkat
untuk rakyat, mereka bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah
kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di di kampong Ciptagelar
ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintahan adat.
Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistika yang bisa
mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan
jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang
disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga
dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah
hewanpiaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan
kendaraanmempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga.
Sebab,dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan
peliharaan) dan pajak kendaraan.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam pembangunan jalan, jembatan,
dan fasilitas umum lainnya, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan
tenaga mereka sendiri. Dalam laporan kepada warganya itu, Abah Anom
menyampaikan selesainya beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan yang
menelan biaya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya, seluruh biaya pembangunan
itu sepenuhnya swadaya masyarakat adat Kasepuhan tersebut. Kegiatan-kegiatan
yang ada itu tidak terlalu banyak membutuhkan uang, tetapi tenaga. Untuk
pembangunan jalan, misalnya, bantuan warga bukan berbentuk uang, tetapi tenaga.
Alat penerangan yang ada disana
ternyata sudah menggunakan listrik yang dibuat oleh sekelompok orang yang
merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil seperti desa Ciptagelar.
Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun listrik yang dibuat secara
swadaya masyarakat dan bantuan donatur. Dengan adanya listerik maka tidak
menuntut kemungkinan masuknya berbagai alat komunikasi seperti televisi radio
komunitas. Peralatan pertanian yang digunakan disana masih sangat sederhana
sekali mereka masih menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah.
Sistem Mata Pencarian Hidup
Bagaimana warga di desa Ciptagelar
berusaha hidup mandiri, sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada pihak
lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam “keluarga”
sendiri adalah hal yang sudah semakin hilang di sekeliling kita. Meskipun
mereka hidup dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali
setahun, di keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul itu tak terdengar ada kabar
tentang kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah
tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Pekerjaan masyarakat Kasepuhan
rata-rata adalah bertani dan bercocok tanam padi, pekerjaan lainnya adalah
beternak dan berkebun, bila sawah dalam masa Boyor / berair cukup akan
dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila kurang air akan ditanami tanaman
yang berjangka pendek. Pekerjaan lainnya adalah sebagai buruh, tukang, kuli
bangunan dan pedagang, bagi warga yang tinggal di kampung akan bekerja di
kebun, membuat kerajinan anyaman, menanam pisang, membuat gula dll.
Istilah maro system bagi dua untuk
pemilik dan penggarap, baik pertanian ataupun peternakan, dan istilah bawon
hanya berlaku saat panen padi, seperti jika seseorang ikut memanen dari lima
ikat (sunda: pocong) maka dia akan mendapat satu pocong, begitu juga berlaku
ketika menumbuk padi.
Selesai panen, setiap keluarga
menyisihkan dua pocong untuk diserahkan ke sesepuh girang sebagai tatali setiap
habis panen, padi tersebut biasanya disimpan di lumbung kesatuan, dan padi itu
juga berfungsi sebagai cadangan bila datang musim paceklik, dan bisa
dipinjam oleh siapapun, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Di Kasepuhan Ciptagelar ada satu
Lumbung komunal yang beri nama leuit Si Jimat, lumbung ini dipergunakan
untuk upacara adat di acara Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat
penyimpanan indung pare.
Peraturan adat melarang untuk
menjual beras sebagai makanan pokok, juga hasil olahan dari beras juga
dilarang untuk di jual, tetapi masyarakat diijinkan menjual padi apabila ada
kelebihan cadangan, hal ini biasanya dilakukan untuk pembangunan sarana dan
prasarana warga Kasepuhan, seperti pembangunan jalan, jembatan, saluran air
dsb.
Sistem Religi
Sistem religi di Desa Ciptagelar sebenarnya
beragama Islam, namun unsur animisme dan dinasmisme masih sangat kental,
terutama sangat terlihat pada saat adanya upacara-upacara adat. Contohnya
masyarakat disana masih percaya kepada hal-hal yang sifatnya magis, tahayul dan
lain-lain.
Sebagai perangkat nilai yang
dimiliki masyarakat adalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak
dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan dimana mereka tinggal, contoh
pemahaman masyarakat akan system pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan
tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena;
a)
upacara adat mengharuskan menggunakan padi local
b)
padi jenis unggul [pemerintah] tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah
lembab dan terlalu dingin.
c)
padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah
pengeringan dan penyimpannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak
rontok.
d)
melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi
pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan.
e)
dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng
yang biasanya jatuh apada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan
f)
untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan
perhitungan bintang [seperti yang diungkapkan olek Kusnaka Adimiharja.1992]
yaitu;
·
Tanggal Kerti Kana Beusi, tanggal Kidang turun Kijang , untuk menyiapkan
alat-lat pertanian,
·
Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon untuk lahan mulai
digarap.
Pengetahuan tentang hutan di
masyarakat adat Kasepuhan di bagi 3 golongan, yaitu;
Hutan Tua (Leuweung Kolot),
Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh
dieksploitasi.
Hutan Titipan / Kramat (leuweung
Titipan), Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh
digunakan tanpa seijin sesepuh girang, memungkinkan digunakan hasil hutannya
bila ada wangsit dari leluhur.
Hutan Sempalan / bukaan (leuweung
Sampalan), Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang,
menggembalakan ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu
dan buah-buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Aturan-aturan adat dan upacara adat
yang berkaitan dengan padi selalu disertai dengan upacara ritual;
Ritual: Ngaseuk
Upacara prosesi menanam padi,
memohon keselamatan dan keamanan dalam menanam padi, prosesi selamatan dengan
kegiatan hiburan seperti wayang golek, Jipeng, Topeng, dan Pantun Buhun.
Diawali oleh sesepuh girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di
wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Ritual: Sapang Jadian Pare
Satu minggu setelah tumbuhnya
penanaman padi. Memohon ijin kepada sang ibu untuk ditananmi padi, dan restu
leluhur dan Sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik.
Ritual: Salametan Pare nyiram,
mapag pare beukah
Selamatan padi keluar bunga, memohon
padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama:
a.
Ritual: Sawenan
Upacara setelah padi keluar,
memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan
baik dan terhindar dari hama.
b.
Ritual: Mipit Pare
Diadakan saat akan memotong padi
baik dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar
diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada
leluhur.
c.
Ritual: Nganyaran / Ngabukti
Upacara ritual saat padi ditumbuk
dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai
dengan ritualnya.
d.
Ritual Ponggokan
Seminggu sebelum Seren Taun, baris
kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak
/jiwa Rp.150,- dan rumah Rp.250,- (data th 1997)
Kemudian menyerahkan biaya Seren
Taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas biaya Seren Taun yang akan
datang.
e.
Ritual: Seren Taun
Adalah puncak acara dari segala
kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap
tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan Dewi Sri, dengan segala
bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang
modern sekalipun di tampilkan untuk masyarakat, dan padi di bawa dan diarak dan
diiringi oleh semua orang, untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal Leuit
Si Jimat.
Selain upacara yang terkait dengan
padi, ada upacara lain yang dilakukan yaitu;
selamatan 14 bulan purnama
upacara Nyawen – bulan safar
(pemasangan jimat kampong)
selamat Rosulan (permohonan)
selamatan Beberes
(menghindarkan masalah karena pelanggaran)
sedekah Maulud dan Rewah (
saling mengirim makanan )
Kesenian
Seren tahun merupakan salah satu
tradisi warga desa adat Ciptagelar, yang bertujuan soal prilaku, ulah, dan
langkah warga kasepuhan selalu dalam kaidah adat yang santun. Ini penting,
katanya, agar setiap keinginan yang dicita-citakan bisa tercapai. Pertanian
subur, panen melimpah, dan hidup tenteram. Dalam acara seren tahun ini mereka
biasanya menggelar berbagi kesenian seperti jaipongan, wayang
golek, debus, semua ini merupakan bentuk syukuran rakyat kepada sang
pencipta atas rizki yang telah diberikan kepada mereka selain itu mereka juga
meminta agar kedepannya panen mereka lebih baik lagi. Selain pentas kesenian
pada malam itu juga tidak sedikit orang datang ke Abah Anom yang mana para
warga ingin menyampaikan keluh kesahnya sambil meminta wejangan.
Selesai atraksi ini dimulailah
upacara seren taun, diawali pembacaan do’a dan renungan oleh pemuka masyarakat
di depan leuit (lumbung) keramat. Usai sesi yang penuh ritual ini, abah dan
istri serta anggota inti, menaiki tangga lumbung dan masuk ke dalamnya.
Sepanjang acara ini asap menyan menebarkan kesan magis. Sesudah keluarga inti
kasepuhan kembali ke panggung, padi yang digotong tadi mulai dimasukkan dengan
cara dilempar. Acara selanjutnya adalah pidato pertanggungjawaban yang intinya
nyoreang alam katukang, nyawanan bakal katukang. Yang kira-kira artinya,
kecukupan di tahun yang sudah-sudah bagaimana, lalu di tahun mendatang apa yang
harus dilakukan.
Simpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari
cipta dan karsa manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik
oleh kelompok maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah
kebudayaan yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau
identitas masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum
dalam tujuh unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat
yang masih berada di wilayah pedesaan. Masyarakat desa Ciptagelar memiliki ciri
khas keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan
derasnya kemajuan jaman dan moderenisasi.
Dalam sistem kehidupan sosialnya
masyarakat desa Ciptagelar masih mempertahankan tradisi lamanya yaitu masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat
Ciptagelar walaupun sudah mengenal yang teknologi modern seperti Televisi,
Radio dll, namun mereka tetap memprtahankan tradisi lamanya, seperti dalam hal
menyimpan padi. Mereka menyimpan padi di tempat yang dinamakan leuit atau
lumbung padi. Penggunaan leuit ini untuk menyimpan padi setelah panen agar
ketika musim tidak panen mereka tidak kekurangan makanan.
Keunikan lain yang ada di desa
Ciptagelar adalah acara seren tahun dimana acara ini diadakan setahun sekali
setelah panen. Acara Seren Taun ini merupakan pesta rakyat yang dilakukan
untuk penyimpanan padi ke tempatnya (leuit). Dalam acara ini biasanya di
lakukan berbagai hiburan rakyat seperti jaipongan wayang golek dll. Dalam
upacara Seren Taun ini dapat dilihat berberapa wujud nyata yang
merepresentasikan tujuh unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu
sistem religi adanya unsur-unsur magis dalam upacara, sistem kesenian adanya
acara hiburan rakyat atau kesenian tradisional, dan juga unsur sistem
organisasi atau sistem pemerintahan dengan adanya acara laporan pertanggungjawaban
dari kepala adat. Dalam unsur kebudayaan lainnya, masyarakat Ciptagelar masih
merupakan salah satu desa adat yang masih teguh memegang tardisinya seperti,
bentuk rumah, sistem kepemimpinan, cara bertani, kesenian, cara penyimpanan
padi, dan lain-lain.
Sumber Bacaan:
Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
_____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
_____ . 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
…………………….. (Aug 15, ’07).Kasepuhan Cipta Gelar Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweepitt.multiply.com/journal/item/8. 25 Februari 2008.
Permanasari, Indira dan Amir Sodikin. (2005). [Online]. Tersedia. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0508/24/humaniora/1998005.htm. 20 Maret 2008
.
Susanto, Arif .(…….). Seren Taun – Kedamaian “Negeri di Awan. [Online]. Tersedia. http://www.garudamagazine.com/department.php?id=77
. 20 Maret 2008.
…………………… (……). Cipta Gelar Gunung Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/cipta_gelar_gun.html. 25
Februari 2008
……………………..(……….) .Leuit”, Kearifan Warga Kaki G. Halimun. [Online]. Tersedia.http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/sekilas_tentang.html
25 februari 2008
………………… (……….).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.[Online]. Tersedia. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=49&limit=1&limitstart=5 20 Maret 2008.
……………….. (…………).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. [Online]. Tersedia. http://dieny-yusuf.com/2007/03/02/kampung-gede-kasepuhan-ciptagelar/
. 20 Maret 2008.
………………….. (2008). Tentang Kebudayaan Kasepuhan . [Online] Tersedia. http://ciptagelar.multiply.com/journal/item/5 [31 08-09]
_____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
_____ . 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
…………………….. (Aug 15, ’07).Kasepuhan Cipta Gelar Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweepitt.multiply.com/journal/item/8. 25 Februari 2008.
Permanasari, Indira dan Amir Sodikin. (2005). [Online]. Tersedia. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0508/24/humaniora/1998005.htm. 20 Maret 2008
.
Susanto, Arif .(…….). Seren Taun – Kedamaian “Negeri di Awan. [Online]. Tersedia. http://www.garudamagazine.com/department.php?id=77
. 20 Maret 2008.
…………………… (……). Cipta Gelar Gunung Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/cipta_gelar_gun.html. 25
Februari 2008
……………………..(……….) .Leuit”, Kearifan Warga Kaki G. Halimun. [Online]. Tersedia.http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/sekilas_tentang.html
25 februari 2008
………………… (……….).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.[Online]. Tersedia. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=49&limit=1&limitstart=5 20 Maret 2008.
……………….. (…………).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. [Online]. Tersedia. http://dieny-yusuf.com/2007/03/02/kampung-gede-kasepuhan-ciptagelar/
. 20 Maret 2008.
………………….. (2008). Tentang Kebudayaan Kasepuhan . [Online] Tersedia. http://ciptagelar.multiply.com/journal/item/5 [31 08-09]